Sesungguhnya Seluruh Gereja yang menganut Ajaran Doktrin Lutheran di Asia Haruslah Berkaca dgn Gereja Roma Katolik "bukan berarti menjadi sama". Jikalau kita kembali belajar sejarah, Pada Awalnya Martin Luther "Tidak pernah berpikiran/Bercita cita untuk mendirikan Gereja Baru di luar Katolik". Namun dia hanya ingin meluruskan Doktrin Keselamatan, Praktis Indulgensi penghapusan dosa dan praktik praktik lainnya yang di lakukan oleh Katolik Roma.
Jika merujuk dari motivasi Luther tersebut, seharusnya tidak ada Gereja Protestan jikalau Luther tidak di katakan bidat. Namun karna dari kalangan Paus tidak Terima dengan pernyataan ke 95 dalil, terlebih ketika Martin Luther menentang Ketidak bersalahan Paus, maka beliau di usir dan di Keluarkan dari Forum Katolik Roma. Sehingga lahirlah Gereja Protestan (Reformasi) karna ketidak puasan Reformasi lahirlah Anglikan dan Calvinis, karna ketidak pusan dari ketiga Gerakan tersebut lahirlah Pentakosta, dengan ketidak puasan di ajaran Pentakosta lahirlah Gerakan Pentakosta (Roh Kudus/Bahasa Roh). Oleh sebab itu Sebenarnya Gereja Lutheran pada masa kini perlu berbenah diri baik dalam Pemahaman akan segala Doktrin, baik Doktrin Liturgi Gerejawi, Doktrin Doktrin keselamatan dan Doktrin paham lainnya.
Berhubung dengan itu GKLI juga sebagai Gereja Lutheran di Indonesia, bahkan yang satu satunya Gereja menyandangkan nama Luther perlu semakin memperbaharui diri dan memperlengkapi segala bentuk ajaran sehingga benar sesuai dengan Paham doktrin Lutheran yang di ambil dari kitab PL dan PB.
Siklus Liturgi Gerejawi.
Dalam Beberapa tahun akhir ini GKLI telah berkelanjutan melakukan Perayaan Ibadah Rabu Abu, penyematan Debu dengan tanda salip di dahi. Mengingatkan kita yang di ambil dari debu dan harus kembali ke Debu. Sampai saat ini belum jelas dan belum ada keputusan yang pasti Debu apakah yang di Gunakan pada saat perayaan Rabu Abu ?.
Bahkan dalam pelaksanaan Rabu Abu masih ada yang tidak menggunakan penyematan Debu ke dahi. Lantaskah hal tersebut kita katakan Rabu Abu jika tanpa penyematan Debu ?, sesungguhnya itu hanya penggunaaan nama saja dan dalam praktiknya bukanlah Rabu Abu, hal itu adalah hanya Ibadah biasa saja dengan menggunakan nama Rabu abu. Hal ini perlu di kaji dan di putuskan menjadi suatu perayaan yang mutlak di lakukan karna itu adalah bagian dari tahapan Kalender Gerejawi khususnya dalam memasuki minggu minggu peringatan akan kematian Kristus.
Minggu Palmarum, Pada saat ini di kalangan Gereja Lutheran asia sudah banyak merayakan minggu Palmarum. Namun sesunggugnya jika di lihat dan di kaji secara praktis itu adalah hanya minggu biasa saja dikarenakan sampai saat ini belum ada sesuatu hal praktis (nyata) menunjukkan bahwa sesungguhnya itu adalah minggu Palmarum (daun Palem). Oleh sebab itu GKLI Juga sebenarnya sebagai Gereja Lutheran harusnya sudah membenahi diri, Kalau di dalam kalender Gerejawi kita ada minggu Palmarum, harusnya meja Altar sebagai tempat kehadiran Allah dalam Ibadah haruslah di hiasi dengan Daun Palem dan hendaklah semua jemaat harus membawa daun palma (sejenis) mengingat Palmarum itu adalah Daun palem yang di berikan di jalan untuk menyambut Yesus Kristus masuk ke Yerusalam untuk memulai penderitaan_Nya. Oleh sebab itu jika kita merayakan minggu Palmarum tanpa daun palma maka itu sama halnya dengan minggu biasa saja. Dan secara nyata Gereja hanya menjalankan Siklus Perputaran Kalender Gerejawi tanpa Praktisi di dalam Gereja.
Jika di perhatikan dari Sejarah bahkan Bagi kalangan Katolik masih kini, mereka sungguh sungguh melakukan ibadah Palmarum dan melakukan Ekaristi. Bagi Katolik sesungguhnya dalam Ibadah minggu palmarum semua Jemaat membawa daun palma bahkan ada yang mempraktikkan daun palma di berikan di meja Altar atau pada saat prosesi pastor memasuki rumah Ibadah semua Jemaat memegang dan mengangkat daun palma.
Sesuai budaya dan ajaran Katolik daun palma ini tidak di buang, namun semuanya akan di kumpulkan dalam satu tempat. Daun palma ini akan di simpan hingga berganti tahun sampai memasuki Ibadah Rabu Abu. Jadi Abu yang digunakan dalam perayaan Rabu Abu adalah Abu dari daun palma yang telah membusuk atau Abu dari bekas pembakaran daun palma. Sesungguhnya itu adalah suatu ciri khas dan budaya yang baik, sebagaimana Gereja dapat mempergunakan apa yang telah di kuduskan dalam minggu palma (hasil pembakaran daun palma) jadi tidak sembarangan mempergunakan debu. Dengan pengertian logis "masih lebih layak Debu daun palma dari pada debu yang di ambil dari sembarangan tempat atau debu yang sudah tercemar atau di pijak pihak orang".
Namun saya berpikir dan prinsip semuanya akan kembali kepada kebenaran kalau semua sudah sepaham dan Semuanya itu adalah proses yang menuntun kepada pendewasaan dalam segala pemahaman yang benar. Karna itu perlu di ingat suatu Gereja yang benar adalah "Ecclesia reformata semper reformanda" atau Gereja Reformasi yang terus membaharui diri .
Tuhan memberkati๐๐๐
Pdt. Ardianus Situmorang S. Th
Tidak ada komentar:
Posting Komentar